Unduh Modul TIK SD Kelas 1,2,3,4,5,6 disini >>
Bagaimanakah Mendisiplinkan Siswa Tanpa Harus Melakukan Hukuman Fisik? Pertanyaan tersebut sengaja ditebalkan sebagai penegasan pertanyaan penting. Karena pertanyaan tersebut saya anggap sangat penting, maka menjawabnya pun saya harus berhati-hati. Menjadi Guru di zaman sekarang, bahkan teman saya menyebutnya zaman -maaf- goblok memang memerlukan tenaga dan pikiran ekstra super. Terutama dalam hal pendisiplinan bagi siswa, karena untuk hal ini Guru harus sangat berhati-hati, jika salah bisa saja guru masuk penjara lantaran pengaduan orang tua siswa. Berbeda tentunya dengan zaman-zaman saya dulu ketika siswa mendapat hukuman dari Guru dan melaporkan kepada orang tua maka orang tua tak segan-segan untuk menambah hukuman kembali, itu dikarenakan orang tua sangat percaya dengan apa yang dilakukan guru kepada anaknya tak lain merupakan bagian dari proses mendisiplinkan anaknya.
Berita yang menjadi trending topik dikalangan Guru beberapa waktu lalu, ketika ada seorang Guru yang mencubit siswanya lantaran si siswa tidak mau solat berjamaah malah berakhir dengan dipolisikannya sang Guru dengan tuduhan penganiayaan. Kasus ini tentu menjadi sorotan publik, dukungan simpati terus mengalir di sosial media kepada Guru yang dianggap tak bersalah tersebut, opini terjadi dimana-mana. Dan kasus seperti ini bukan sekali dua kali, tapi sering terjadi, hanya karena tindakan pendisiplinan yang menyentuh fisik siswa banyak Guru yang masuk penjara. Tindakan kekerasan untuk tujuan apapun, termasuk untuk mendisiplinkan memang sudah tidak boleh dilakukan oleh Guru, tapi mendisiplinkan siswa tetap menjadi kewajiban Guru degan cara-cara yang manusiawi, yang tidak dianggap penganiayaan, dan mendisiplinkan.
Mendisiplinkan memang terkait dengan tindakan otoriter, berusaha menguasai siswa agar siswa mau mengikuti aturan. Tindakan otoriter tersebut kadang harus dilakukan secara fisik ketika si siswa sudah sangat sulit di disiplinkan. Tetapi tindakan secara fisik tersebut tetap saja tidak boleh dilakukan. Dan jalan terbaiknya yang sering dianjurkan Guru kepada sesama Guru lainnya yaitu dengan melaporkan tindakan indispliner siswa yang kelewat batas tersebut kepada orangtuanya dengan harapan orangtua siswa mau bertindak. Melaporkan tindakan indisipliner siswa kepada orangtuanya sebenarnya merupakan komunikasi yang baik anatar sekolah dan orangtua siswa dengan harapan ada kerjasama dalam proses mendidik, karenanya Guru sebaiknya menggunakan cara ini daripada melakukan hal-hal yang nantinya malah berbuntut perkara.
Selain itu, menurut Guru senior yang sering memberikan motivasi mendidik, bahwa ada jalan tengah yang bisa dilakukan Guru ketika mendisiplinkan siswa tanpa harus menghukumnya. Jalan tengah tersebut adalah konsekuensi logis, siswa diberikan tangungjawab yang seluas-luasnya dengan konsekuensi sebagai batasan atas apa yang sudah dilakukannya. Jika siswa tersebut membuang sampah semabarangan maka konsekuensinya siswa tersebut harus memungut sampah yang dibuangnya dan memasukannya ke tempat pembuangan sampah. Cara ini lebih humanis dan sama sekali tidak mengandung unsur kekerasan.
Baca:
Cara Mengkondisikan Kelas Ketika Banyak Guru Yang Tidak Hadir di Sekolah
Mendisiplinkan tapi tetap disukai siswa
Tindakan mendisiplinkan yang dilakukan Guru kadang identik dengan sebutan "galak", "killer", "menakutkan". Sehingga Guru-guru yang seperti ini kadang mendapat reputasi buruk dan tidak disukai siswa. Siswa akan tegang selama Guru tersebut ada dihadapannya, kalau sudah begini perasaan "fun", "comport" dalam belajar sudah hilang seketika.
Lalu bagaimanakah mendisiplinkan siswa tanpa harus membuat mereka ketakutan?
Menarik jika menyimak apa yang dilakukan oleh temen-temen di sekolah militer, hampir semua hukuman berbentuk fisik, tentu ini bukan semata-mata bentuk kekerasan dan penganiayaan, melainkan lebih kepada pembentukan karakter, fisik dan tentu kedisiplinan. Sebab pada dasarnya disiplin itu mulanya harus dipaksakan, lalu berikutnya akan menjadi pembiasaan dan akhirnya menjadi kesadaran.
Berbeda tentunya antara sekolah militer dengan sekolah yang kita bicarakan sekarang, outputnya pun beda, kalau sekolah militer outputnya adalah tentara yang siap perang, sementara sekolah yang kita bicarakan outputnya adalah insan yang bermartabat dan bermanfaat bagi orang lain, jadi cara mendidiknya pun berbeda tentunya. Untuk hal tersebut saya mengutip beberapa tulisan yang membahas solusi-solusi bagaimana caranya mendisiplinkan siswa tanpa kekerasan, dan bagaiamana menjadi Guru yang disukai dan dicintai siswanya.
Dari sekian banyak tulisan, saya tertarik dengan tulisannya pak Agus Sampurno, beliau seorang kepala sekolah dan juga motivator untuk para Guru. Menurut beliau, bahwa ada tips yang bisa digunakan Guru untuk mendisiplinkan siswanya. Tipsnya tak lain dengan mengganti hukuman dengan konsekuensi. Perbedaanya adalah, jika hukuman selalu bersipat persuatif guru selalu pihak yang paling benar, mengancam dan kerap memberi cap buruk terhadap siswa yang berulang kali membuat kesalahan. Sementara konskuensi dijatuhkan pada saat ada perbuatan dilakukan dan berdasarkan pada kesepakatan yang telah ditetapkan diawal. Tidak memberi cap buruk kepada siswa dan berasaha membuat siswa bertanggungjawab dengan apa yang ia lakukan.
Untuk contoh perlakuan konsekuensi terhadap pelanggaran siswa adalah, jika siswa datang terlambat maka konsekuensinya si siswa pulang lebih lambat atau ada pengurangan jam istirahatnya. Hal ini menarik, karena siswa tidak merasa terancam dengan hukuman tapi mereka berusaha untuk menjalaninya karena itu sudah menjadi kesepakatan sebelumnya.
Segala macam konsekuensi tersebut harus disepakati sebelumnya antara siswa dan Guru, dan biasanya konsekuensi-konsekuensi tersebut dibukukan menjadi buku konsekuensi logis sekolah yang nantinya dimiliki masing-masing siswa untuk dibaca, dipahami, dimengerti dan dijalani. Jadi bukan konsekuensi yang diberikan secara spontan, melainkan sudah ada sosialisasi dan kesepakatan bersama sebelumnya.
Baca:
Tips Bagaimana Sekolah Swasta Bisa Bersaing Dengan Sekolah Negeri Unggulan
Dengan adanya konsekuensi logis sekolah Guru menjadi smart
Dengan adanya konsekuensi logis sekolah, Guru tidak perlu lagi menarik urat leher lebih dalam hanya untuk mendisiplinkan siswa yang datang terlambat, sebab si siswapun sudah tahu apa yang harus ia lakukan sebagai konsekuensi keterlambatannya.
Konsekuensi logi sekolah menjadi alat panduan dan sekaligus peraturan yang harus diketahui dan dipahami oleh seluruh warga sekolah, sehingga iklim kondusip akan terjadi tanpa adanya hukuman yang bisa saja hukuman tersebut dianggap penganiayaan dan berujung pengadilan.
Dengan aturan yang sudah dipahami dan disepakati bersama dalam bentuk buku konsekuensi logis Guru menjadi lebih punya banyak waktu untuk meningkatkan kompetensi dirinya, mengembangkan kemampuan mengajarnya, dan lain sebagainya untuk mutu sekolah. Karenanya solusi terbatik dari sekaligus jawaban dari pertanyaan bagaimana cara mendisiplinkan siswa tanpa harus menggunakan cara-cara fisik yang dianggap kekerasan, yaitu dengan membuat konsekuensi logis sekolah yang disepakati besama.
DOWNLOAD DISINI >>
Masih satu topik:
Modul-modul Komputer untuk SD SMP SMA SMK disini...